RSS

Sinopsis Film (part 7)


Sinopsis film yang dibintangi oleh Aktor kechee Asa Butterfield

Beberapa sinopsis film Asa yang lain :
Ender's Game
Ender's Game poster.jpg
Poster rilis teatrikal
Sutradara Gavin Hood
Produser
Skenario Gavin Hood
Berdasarkan Ender's Game
karya Orson Scott Card
Pemeran
Musik Steve Jablonsky
Sinematografi Donald McAlpine
Penyunting Zach Staenberg
Lee Smith
Perusahaan
produksi
Distributor Summit Entertainment
Lionsgate
Tanggal rilis
  • 24 Oktober 2013 (Jerman)
  • 01 November 2013 (Amerika Serikat)
Durasi
114 menit
Negara Amerika Serikat
Bahasa Inggris
Anggaran $110 juta
Pendapatan kotor $125,537,191




 Sinopsis 

“In the moment when I truly understand my enemy, understand him well enough to defeat him, then in that very moment I also love him.”

Tentu saja bukan merupakan hal yang tabu jika sebuah film memiliki begitu banyak ide yang ingin ia tampilkan, itu justru menarik, namun dengan satu syarat mutlak dimana ia harus di eksekusi dan dikombinasi dengan tepat. Ender’s Game adalah contohnya, punya banyak ide dan isu dan yang cantik, dari unsur politis, sosial, peperangan, hingga hal sederhana seperti bullying. Ender’s Game, seperti terjemahan baku, adalah permainan milik Ender. This is not a game!! Really?


Pada tahun 2086 satu spesies bernama Formics berhasil masuk kedalam bumi dan melancarkan misi untuk mengambil alih kontrol pada umat manusia. Untungnya kala itu ada seorang pilot bernama Mazer Rackham (Ben Kingsley) yang mengambil langkah heroik dan menjadikan ia sebagai seorang legenda. Tepat 50 tahun kemudian sistem pelatihan militer mulai diterapkan, sebagai upaya antisipasi. Konsepnya adalah mengumpulkan semua anak-anak yang dianggap berbakat dan cerdas dalam menghadapi perang. Salah satu dari mereka adalah Andrew Wiggin (Asa Butterfield), anak muda berperawakan tenang yang lebih dikenal dengan nama Ender.    

Bermula dari permainan game, ia kemudian harus menerima fakta bahwa alat pengawas yang tertanam dalam tubuhnya harus dicabut. Ender mengira hal tersebut adalah sebuah hukuman, namun dibalik itu ternyata selama ini ia telah berada dalam pengawasan Kolonel Graff (Harrison Ford) dan Major Gwen Anderson (Viola Davis), dua sosok dari International Fleet, yang kemudian menawari Ender untuk bergabung dengan Battle School. Alasannya sederhana, Ender punya karakter yang selama ini mereka cari, sosok yang mereka percaya punya kemampuan untuk memimpin pasukan menyelamatkan dunia.


Sedikit terkejut di bagian awal dimana Gavin Hood seolah berbisik kepada anda bahwa film ini akan menjadi sebuah hiburan yang jauh lebih menarik dari ekpektasi awal yang anda pasang. Sumbernya adalah kemampuan Gavin Hood dalam mengemas konsep cerita yang ia adaptasi dari novel berjudul Ender's Game, karya Orson Scott Card, rilisan tahun 1985. Yap, uniknya disini, dimana ide yang sudah berumur hampir tiga dekade itu ternyata berhasil diolah agar tetap menjauh dari kesan usang dan kuno. Menggunakan inti pada tema kepemimpinan, seeking leaders, hadir dengan warna cerita yang sedikit gelap dan serius, berkombinasi dengan visual yang mumpuni, ini adalah sebuah permainan yang menyenangkan, pada awalnya, bahkan singkat.

Yap, ini sangat sangat menarik pada awalnya karena saat itu anda hanya akan diberi sebuah skema sederhana dari A menuju B, mengumpulkan anak-anak muda untuk menyelamatkan dunia. Hal yang berbeda justru terjadi setelah lepas dari bagian tersebut, mulai ditemani oleh ide-ide serta isu-isu yang menarik, tapi celakanya tidak di eksekusi dengan cara yang sama menariknya. Mereka menumpuk, pertanyaan dan pernyataan seperti dipaksa masuk namun tidak mampu disajikan dengan tepat bersama alur cerita dan karakter. Dampaknya bahaya yang mengancam dunia tidak terasa, ketegangan berada di level yang tidak memikat, ya ini benar-benar seperti menyaksikan sebuah permainan, anda dapat pause dan resume sesuka hati tanpa memberikan efek yang merusak.

Kelemahan utama Ender's Game adalah sejak awal ia tidak mampu menciptakan pondasi yang kokoh pada alasan dibalik pemilihan serta betapa pentingnya kumpulan anak-anak yang di latih untuk menjadi prajurit itu bagi dunia, padahal kita juga diberi tahu bahwa disekitar mereka masih eksis pahlawan dewasa yang secara logika masih dapat melakukan pertarungan tanpa kontak fisik tersebut, bahkan salah satu dari mereka juga menjadi sumber dari ide yang digunakan oleh Ender. Hal tersebut secara tidak langsung menjadikan para karakter muda tersebut terasa kurang berharga, sehingga momen hitam dan putih yang mereka alami terkesan biasa, tidak ada dinamika emosi bernada serius yang memikat sehingga sulit bagi penonton untuk ikut bersimpati pada aksi yang sebenarnya secara implisit coba dijadikan sarana untuk menginspirasi.


Nilai minus tadi belum menghitung sikap dari tim produksi yang sepertinya sejak awal ingin memberikan status gantung pada film ini. Tidak begitu jauh dari garis start Ender’s Game sudah tampak layaknya sebuah paket umpan, terkesan seperti pembuka jalan semata bagi potensi kehadiran film kedua. Itu menjadikan film ini terkesan kurang total baik di bagian cerita dan karakter, sering kali menahan dengan sangat kuat materi yang ia punya, menghadirkan alur yang memang bergerak cepat namun tidak mengembangkan luas cerita, mencoba memperluas waktu durasi dengan mengisi beberapa bagian menggunakan ide-ide tentang strategi dan manipulasi tapi sayangnya menjadikan porsi mereka terasa sedikit over.

Hasilnya, sangat mudah menilai Ender’s Game sebagai film yang tidak seimbang, hampir 80% durasi dipakai untuk membangun cerita dan karakter utama. Ini menjadikan bagian konklusi yang dihadirkan seperti dikebut, padahal sejak awal ia sudah gagal dalam menghadirkan tekanan dari sisi hitam dengan absennya sosok antagonis yang tampak seperti coba dijadikan sebuah misteri namun tidak dibentuk dengan menarik. Ketidakseimbangan itu juga hadir akibat keputusan memberi atensi yang sedikit banyak pada subplot yang sebenarnya hanya menyandang status pedukung, cukup menyita durasi dengan fokus pada saudara Ender yang bernama Valentine (Abigail Breslin), bukan hanya hadir dan memadatkan konflik namun ikut menggerus kualitas dari dua konflik utama.

Nilai plus Ender's Game secara mengejutkan muncul dari divisi akting. Asa Butterfield memang tidak memukau, namun kembali memberikan performa yang cukup solid, walaupun kurang mampu membangun chemistry multi arah yang memikat bersama Abigail Breslin, Hailee Steinfeld yang berperan sebagai Petra Arkanian, serta Harrison Ford. Harrison Ford sendiri sepertinya harus lebih cermat memilih project karena disini ia tidak dapat ruang ekspresi yang besar dan bebas. Film ini juga menyadarkan saya betapa besar pengaruh The Kings of Summer bagi Moises Arias, setiap kali ia muncul saya selalu bergumam Biaggio, bukan Bonzo.


Overall, Ender's Game adalah film yang kurang memuaskan. Sebuah sci-fi dasar dengan warna cerita yang gelap, punya efek CGI yang cukup manis, akting yang mumpuni, namun rusak akibat script yang kurang mampu membangun konsep yang sesungguhnya sangat menarik. Ini mungkin akan mengasyikkan jika sejak awal anda hanya mengharapkan sebuah sajian yang mengupas proyek dengan basis militer, bukan sebuah misi menyelamatkan bumi dari kehancuran. Tidak ada dinamika cerita yang memikat, terlalu stabil, hampir membosankan, menjadi petualangan menyenangkan ia tidak mau, menjadi kisah yang inspiratif ia tidak mampu







 Kamu memang bukan yang pertama, tapi yang terakhir bagiku,, eaaakkks wkwkw :*




Klik di sini untuk mengetahui Fakta Tentang Asa Butterfield 

Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Ender's_Game_%28film%29
                 http://www.rorypnm.com/2013/11/movie-review-enders-game-2013.html


Sinopsis Film (part 6)


Sinopsis film yang dibintangi oleh Aktor kechee Asa Butterfield

Beberapa sinopsis film Asa yang lain :
Hugo
Hugo Poster.jpg
Poster film Hugo
Sutradara Martin Scorsese
Produser Johnny Depp
Timothy Headington
Graham King
Martin Scorsese
Skenario John Logan
Berdasarkan The Invention of Hugo Cabret
karya Brian Selznick
Pemeran Ben Kingsley
Sacha Baron Cohen
Asa Butterfield
Chloë Grace Moretz
Ray Winstone
Emily Mortimer
Jude Law
Musik Howard Shore
Sinematografi Robert Richardson
Penyunting Thelma Schoonmaker
Perusahaan
produksi
Distributor Paramount Pictures (AS)
Entertainment Film Distributors (Inggris)
Tanggal rilis
  • 23 November 2011
Durasi
127 menit
Negara Amerika Serikat
Bahasa Inggris
Anggaran Kurang dari $150 million
Pendapatan kotor $4,013,000

Pemeran

 Sinopsis

Nama anak lelaki itu Hugo Cabret. Panggilannya Hugo. Dia yatim piatu. Ia tinggal di stasiun kereta, dan ia cukup cekatan dengan perkakas dan memperbaiki barang. Sepertinya, bakat tersebut ia warisi dari ayahnya yang telah meninggal dunia.

Intro tersebut akan langsung didapatkan ketika menyaksikan “Hugo”, film yang mendapatkan 5 piala Oscar. Total 5 piala Oscar itu adalah untuk kategori Cinematography, Art Direction, Visual Effects, Sound Mixing, dan Sound Editing. Kelima piala Oscar itu pun diraih setelah sebelumnya mendapatkan 11 nominasi piala Oscar. Still anyway, yang dibahas di blogpost ini bukan tentang piala Oscar-nya, melainkan tentang filmnya.

Hugo.
Dibuka dengan setting stasiun kereta di Paris, Prancis, tokoh utama yang juga jadi judul film ini, Hugo terlihat. Ia berada di balik jam-jam di stasiun kereta, dengan segala perihal mekanisnya. Mulai dari jam yang berada di tengah stasiun, hingga jam yang ada di menara stasiun. Dan di menara itu, Hugo biasa menatap Menara Eiffel.
Kemudian scene berlanjut ke toko mainan kecil di stasiun kereta, yang dijaga oleh seorang pria tua yang dibantu oleh seorang gadis – yang kemudian diketahui sebagai anak baptis pria tua itu. Dari balik jam dinding di stasiun, Hugo memperhatikan toko mainan itu, dan ketika ia hendak menghampirinya untuk “mengambil” barang tertentu, ia tertangkap pria tua penjaga toko. Dan, dari situasi itulah cerita utama film ini dimulai.
Berawal dari buku catatan peninggalan ayahnya yang disita oleh pria tua itu, Hugo kemudian lebih mengenal sang pria tua dan juga keluarganya. Saking tak inginnya buku catatannya dimusnahkan dan berharap agar dikembalikan, Hugo pun kemudian berinteraksi dengan pria tua tersebut, yang juga dikenal sebagai Papa George oleh si gadis – yang bernama Isabelle. Hugo kemudian bekerja di toko mainan tersebut, membantu Papa George sambil berusaha mendapatkan buku catatannya kembali.
Hugo pantas saja berharap agar buku catatan peninggalan ayahnya tidak dimusnahkan. Karena, hanya itulah satu-satunya barang peninggalan dari ayahnya, yang bisa membantunya untuk menuntaskan apa yang ia mulai bersama ayahnya. Yakni, sebuah automaton – atau juga dikenali sebagai manusia mekanik. Di tengah-tengah film, akan ada satu scene dengan alur mundur, yang menceritakan bagaimana automaton itu didapatkan, diperbaiki sedikit demi sedikit, hingga saat meninggalnya ayah dari Hugo. Oiya, ayah dari Hugo ini diperankan oleh Jude Law lho.. :mrgreen:
Kembali lagi ke cerita utama film ini, Hugo kemudian hampir berhasil memperbaiki automaton. Tapi ia masih kekurangan satu komponen utama, yakni sebuah anak kunci berbentuk hati, yang kemudian dimiliki oleh Isabelle. Dari situlah, anak kunci berbentuk hati tersebut mampu membuat automaton berfungsi, mampu “menulis” sebuah pesan yang dianggap Hugo sebagai pesan terakhir dari ayahnya. Salah satu scene dari film yang diceritakan pernah ditonton oleh ayahnya, dengan sebuah nama tertera di pesan itu “George Melies”, yang ternyata nama asli dari Papa George.
O yeah, di saat ini saya pun berpikir bahwa Papa George kemungkinan besar masih memiliki kaitan keluarga dengan Hugo. Tapi ternyata salah! Karena kalo benar, film Hugo akan segera selesai.. tapi nyatanya masih ada ceritanya lagi..
Singkat cerita, Hugo dan Isabelle kemudian mengetahui bahwa Papa George atau George Melies adalah seorang sineas sukses pada zaman sebelum perang (dunia 1?). Banyak sekali film produksinya, dengan ketenaran yang cukup tersebar. Namun semua berubah ketika
negara api menyerangterjadi perang, dan minat para penonton pun berubah. Seiring dengan pergantian zaman, perlahan tapi pasti karya-karya George Melies pun hilang, rusak, atau bahkan dijadikan benda keperluan perang. George Melies pun sedih, frustasi, dan enggan mengingat lagi masa lalu (jayanya) tersebut.
Meskipun kemudian Papa George (dan Mama Jeanne, istri Papa George) seakan kesal karena “rahasia”-nya diketahui oleh Hugo dan juga Isabelle, tapi dengan kesungguhan hati dan keinginan yang tulus, pada akhirnya Papa George mau kembali mengingat (mengenang) masa lalu (jayanya) tersebut. Hal ini takkan terwujud tanpa “bantuan” dari Rene Tabard, seorang profesor bidang film, yang semula meyakini bahwa George Melies sudah meninggal akibat perang.
And so, sesuai ucapan Papa George dan Mama Jeanne “happy ending only happens in movies”, begitupun film Hugo. Papa George mendapatkan pengakuan akan karya-karya filmnya, dikenang oleh khalayak ramai, dan Hugo mendapatkan keluarga baru yang menyayanginya, melindunginya, dan bertanggungjawab untuknya.
Ada satu adegan di film Hugo ini yang cukup mengena dan menjadi garis merah dari film ini menurut saya. Yakni, adegan di saat Hugo berbincang dengan Isabelle, mempertanyakan apa “fungsi” dari kehadiran mereka di dunia ini. Dan, Hugo membuktikan bahwa ia “berfungsi” dengan memperbaiki automaton (yang ternyata buatan dari Papa George), serta membuat Papa George dan Mama Jeanne merasakan penghargaan yang selayaknya.
Buat saya pribadi, film ini memang layak untuk mendapat nominasi 11 piala Oscar – serta memenangkan 5 piala Oscar di antaranya. Singkat kata, kelima piala Oscar yang dimenangkan memang pantas untuk film Hugo ini; Cinematography, Art Direction, Visual Effects, Sound Mixing, dan Sound Editing, karena sepanjang film ini saya terkagum-kagum dengan kelima hal tersebut. Bahkan, penyutradaraan dari Martin Scorcese pun menurut saya begitu hebat dalam mengarahkan Asa Butterfield (Hugo), Ben Kingsley (George Melies), hingga Sacha Baron Cohen (Station Inspector) dengan segenap aspek film lainnya sehingga nuansa film yang bersetting di kota Paris pada era 1920-1930an begitu terasa.
Cuman 1 “kekurangan” di film Hugo ini menurut saya pribadi. Yakni, alur dan ceritanya yang berjalan cukup lambat. Buat para penggemar film yang selama ini selalu senang dengan perubahan scene dan aksi yang begitu cepat, siap-siap saja untuk “menunggu” dan bersabar sepanjang film ini untuk mendapatkan pesan dan nilai yang disampaikan. Meski begitu, alur dan cerita yang jalannya cukup lambat ini sepertinya memang disadari oleh Martin Scorcese, sehingga ia memberi porsi yang cukup untuk tampil di layar bagi karakter-karakter “penyempurna” seperti Station Inspector, Lisette (gadis tukang bunga), Monsieur Labisse, dan masih banyak lagi.

PS:
  1. Salah satu executive producer film Hugo ini adalah salah satu aktor ternama, dan di film ini tampaknya dia tampil beberapa kali sebagai cameo tanpa dialog namun cukup sering di-shoot. Bisa tebak siapa dan sebagai cameo apa? :mrgreen:
  2. Film Hugo ini diangkat dari cerita novel ilustrasi berjudul The Invention of Hugo Cabret karya Brian Selznick.
  3. Karakter George Melies adalah tokoh nyata, dan memang pembuat film terkenal pada zamannya.
  4. Website film Hugo ada di sini.











Klik di sini untuk mengetahui Fakta Tentang Asa Butterfield 

Sumber :  https://id.wikipedia.org/wiki/Hugo_%28film%29
                http://billykoesoemadinata.com/hugo-anak-lelaki-yang-%E2%80%9Cberfungsi%E2%80%9D/

Sinopsis Film (part 5)


Sinopsis film yang dibintangi oleh Aktor kechee Asa Butterfield

Beberapa sinopsis film Asa yang lain :
Nanny McPhee and the Big Bang
Nanny mcphee and the big bang ver2.jpg
Poster, sebelum penamaan ulang Nanny McPhee Returns di AS
Sutradara Susanna White
Produser Tim Bevan
Eric Fellner
Lindsay Doran
Penulis Emma Thompson (Screenplay)
Christianna Brand (Books)
Pemeran Emma Thompson
Maggie Gyllenhaal
Ralph Fiennes
Rhys Ifans
Maggie Smith
dan
Ewan McGregor
Musik James Newton Howard
Sinematografi Mike Eley
Penyunting Sim Evan-Jones
Perusahaan
produksi
Distributor Universal Pictures
Tanggal rilis
Britania Raya
26 Maret 2010
Australia
1 April 2010
Amerika Serikat & Kanada
20 Agustus 2010
Durasi
109 menit
Negara Bendera Perancis Perancis
Bendera Britania Raya Britania Raya
Bendera Amerika Serikat Amerika Serikat
Bahasa Inggris
Anggaran $35 juta
Pendapatan kotor $93,251,121

Pemeran



Sinopsis

Nanny McPhee seorang pengasuh dan pendidik anak, mempunyai kekuatan gaib dengan baju jubah panjang berwarna hitam. Ia datang ke keluarga yang membutuhkan dengan tongkat ajaibnya. Wanita bermuka seperti penyihir ini mendapatkan keluarga di sebuah pertanian. Ayah atau kepala keluarga yang seharusnya mengelola tanah pertanian, meninggalkan tugasnya sebagai petani untuk mengabdi negara di medan perang. Sementara istri Ny. Isabel Green harus menggantikan tugas suaminya dan berusaha menyelamatkan tanah pertanian dari adik iparnya.

Mengerjakan ladang dan juga bekerja di sebuah toko sambil mengontrol tiga anak yang selalu ribut sangat berat untuk seorang wanita muda ini. Tanggungan istri petani ini bertambah berat ketika dua keponakan yang nakal dari kota besar datang ke tanah pertanian mereka. Setelah kedatangan mereka, ketenangan di pertanian itu semakin terusik. Segalanya menjadi lebih kacau, berantakan, dan tidak terkendalikan.

Nanny McPhee datang kepada mereka ketika dibutuhkan meskipun tidak diinginkan dan ia akan pergi jika mereka menginginkan tetapi tidak membutuhkannya. Di pertanian ini, Nanny Mcphee yang diperankan oleh Emma Thompson, berada di tengah peperangan antara tiga anak petani desa dengan dua anak manja dari kota. Dengan kekuatan gaib dan tongkat ajaibnya terjadi bermacam-macam keajaiban untuk mengendalikan anak-anak itu. Dalam cerita film ini terjadi adegan seperti motor terbang, patung hidup, gajah bersikap aneh dan babi-babi penari. Tujuannya adalah untuk mengajarkan kepada lima anak ini, lima hal penting dalam kehidupan mereka. Yaitu, tidak berkelahi, saling membagi, saling menolong, berani, dan saling mempercayai.

Emma Thompson memerankan Nanny McPhee kedua kalinya. Film pertama dibuat pada tahun 2005 dan Kirk Jones adalah regisurnya. Pada film pertama berhasil ditunjukkan peran seorang nanny, didukung dengan kekuatan gaib. Inti cerita berhasil ditonjolkan dan sampai kepada penonton, tanpa mendramatiskan adegan-adegan kekuatan gaib. Meskipun cukup banyak adegan sihirnya tetapi semua adegannya luwes dan berdosis. Demikian juga pesan moral untuk penonton dan cerita humornya seimbang, sehingga penonton mendapat kesan yang luar biasa.

Sementara film Nanny McPhee kedua regisurnya diambil-alih oleh Susanna White dan Emma Thompson berperan sama seperti cerita pertama. Sayang sekali pada film ini kekuatan gaibnya lebih mendominasi kesuluruhan cerita. Jadi cerita inti hilang tertutup dengan adegan-adegan lucu, seperti guntingan klip video yang terpotong-potong, meskipun hal ini membuat penonton terbahak-bahak. Demikian juga beberapa pemain pendukung hanya mempunyai kwalitas pemain drama dalam sinetron bersambung pada sebuah TV. Hal ini berbeda sekali dengan film yang pertama.

Meskipun demikian film ini yang mempunyai gurauan kasar, histeris dan tidak masuk akal dengan jeritan-jeritan yang seharusnya tidak dibutuhkan ini, berhasil menarik perhatian dan menghibur anak-anak. Sayang sekali kesan dan pesan moral untuk anak-anak tentang kelima hal seperti yang telah disebutkan di atas terbang bersama babi-babi yang menari di udara, lenyap dan tenggelam di dalam danau ketika babi-babi itu berenang di telaga.

Singkatnya film ini adalah sebuah film hiburan untuk anak-anak dan kewajiban orang tua menjelaskan inti dari cerita tersebut dengan menekankan pesan moral sehingga anak-anak memahami dan mengerti cerita keseluruhan.


















Klik di sini untuk mengetahui Fakta Tentang Asa Butterfield 

Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Nanny_McPhee_and_the_Big_Bang
               http://kehidupankudibelanda.blogspot.co.id/2010/04/nanny-mcphee.html

Sinopsis Film (part 4)


Sinopsis film yang dibintangi oleh Aktor kechee Asa Butterfield

Beberapa sinopsis film Asa yang lain :
The Wolfman
Wolfman-final-small.jpg
Poster film The Wolfman
Sutradara Joe Johnston
Produser Scott Stuber
Benicio del Toro
Rick Yorn
Sean Daniel
Penulis Andrew Kevin Walker
David Self
Curt Siodmak
(Original screenplay)
Pemeran Benicio del Toro
Anthony Hopkins
Emily Blunt
Hugo Weaving
Musik Danny Elfman
Sinematografi Shelly Johnson
Penyunting Dennis Virkler
Walter Murch
Mark Goldblatt
Perusahaan
produksi
Distributor Universal Pictures
Tanggal rilis
12 Feb 2010
Durasi
103 menit
Negara  Amerika Serikat
Anggaran $150 juta
Pendapatan kotor $142,424,154 $18,834,482 (DVD-sales)

Pemain



Sinopsis
Sejak kematian ibunya, Lawrence Talbot (Benicio Del Toro) memutuskan untuk pergi dari rumah dan menghindar dari seluruh keluarganya. Bertahun-tahun kemudian, sesuatu mengubah pendirian Lawrence. Sebuah misteri yang menghantui tempat kelahirannya membuat Lawrence terpaksa harus kembali ke tempat yang tak pernah ingin ia kunjungi lagi itu.
Gwen Conliffe (Emily Blunt), tunangan kakak Lawrence, berhasil menemukan Lawrence dan memohon agar ia kembali ke kampung halamannya. Gwen ingin Larence membantunya mencari tunangannya yang menghilang tanpa jejak. Meski awalnya berat, Lawrence pun akhirnya mengabulkan permintaan Gwen dan kembali ke kampung halamannya.
Setibanya di sana, Lawrence kembali bertemu Sir John Talbot (Anthony Hopkins), ayahnya, dan mendengar kabar bahwa desa mereka saat ini dilanda pembunuhan misterius. Korban berjatuhan di tangan pembunuh sadis ini dan warga mengira bahwa kutukan kuno telah kembali untuk menghantui desa mereka. Konon, ada sekelompok manusia yang mampu berubah wujud menjadi serigala di saat bulan purnama dan mencari mangsa di sekitar hutan yang mereka huni.




Review
Walaupun bisa dibilang bahwa semua film horor masuk kategori B movie alias film 'murahan', namun ada beberapa sineas yang mencoba berbagai macam cara untuk membawa genre yang satu ini ke tingkat yang lebih tinggi. Lalu muncul beberapa sub genre yang sebenarnya adalah perpaduan horor sendiri dengan berbagai genre (mungkin) dengan tujuan menghapus image B movie itu sendiri.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan genre horor. SAW sukses dengan mengeksploitasi penyiksaan sementara FRIDAY THE 13TH berhasil merebut hati para remaja dengan teen horor yang disajikannya. Kalau mau sedikit serius, THE EXCORSIST mungkin adalah pilihan yang tepat. Selama tepat membidik sasaran, tak ada masalah.
Mungkin berangkat dari pemikiran yang sama juga Joe Johnston mencoba membangkitkan lagi legenda lama tentang werewolf alias serigala jadi-jadian dalam film remake ini. Sayangnya juga Joe sepertinya terjebak dalam usaha membuat film ini lepas dari gelar B movie. Joe berusaha untuk tidak mengikuti sub genre yang sudah ada dan berbagai senjata rahasia pun sudah ia siapkan namun pada akhirnya tetap saja tidak jelas apa yang ingin dicapai Joe lewat film ini.
Alur kisah tak terlalu rumit walaupun ada beberapa sub-plot yang coba dimasukkan. Permainan para pemeran utamanya juga cukup bagus, walaupun tidak bisa dibilang sangat cemerlang. Hasilnya, secara umum bisa dibilang ini bukan film horor dan lebih sebagai film drama keluarga yang disisipi unsur horor. Tidak buruk memang. Hanya saja tidak jelas apa yang ingin dicapai Joe dengan THE WOLFMAN ini.
Genre:Horror
Release Date:February 12, 2010
Director:Joe Johnston
Script:David Self, Andrew Kevin Walker
Producer:Scott Stuber, Rick Yorn, Mary Parent, Benicio del Toro
Distributor:Universal Pictures
Duration:125 minutes
Budget:$85 million
Official Site:www.thewolfmanmovie.com



Klik di sini untuk mengetahui Fakta Tentang Asa Butterfield 

sumber : https://www.kapanlagi.com/film/internasional/the-wolfman-si-manusia-serigala.html
              https://id.wikipedia.org/wiki/The_Wolfman_%28film_2010%29